Korupsi telah meluluhlantankkan sendiri-sendi
kehidupan bernegara dan memandulkan fungsi negara sebagai pengemban
amanat mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan rakyat. Kejahatan ini
telah terjadi secara sistemik dan meluas, melibatkan setiap struktur
aparatur negara secara bersekongkol, setitik kebaikan yang tumbuh
menjadi musuh bersama di internal institusi negara, aparatur negara
tidak lagi mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat tapi
berlomba-lomba memperkaya dirinya sendiri, predikat sebagai abdi negara
hanyalah simbol kehormatan tanpa makna, karena hanya sebagai tameng
untuk menutupi praktek-praktek kebathilan, akibatnya jutaan orang
menganggur, miskin, lapar dan terbelakang. Oleh karena itulah korupsi
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
upaya pemberantasannya juga harus dilakukan denga cara yang luar bisa
pula.
Dalam Penjelasan umum UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan :
”.......mengingat
korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi
perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian pemberantasan
tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus.......”
Penjelasan umum UU No. 30 tahun 2002 juga menyatakan :
”Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak
saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas
dan sistemis juga merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan
telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi
dituntut cara-cara yang luar biasa”.
”Penegakan hukum untuk
memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara komvensional
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan
metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan
khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari
kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang
pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional
serta berkesinambungan”
2. Pembahasan
Komisi Pemberantasan
Korupsi memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugas pemberantasan
korupsi di Indonesia. Pertama; fungsi pencegahan. Kedua fungsi;
supervisi dan koordinasi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga; fungsi penindakan. Fungsi
penindakan ini meliputi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pasal 6
huruf c UU KPK). Sebagai kelanjutan dari fungsi tersebut pembentuk
undang-undang menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi
(Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh
KPK. (pasal 53 UU KPK). Ketentuan pasal 53 tersebut menegaskan bahwa
hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan
KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang
memutus perkara yang diajukan KPK. Jika pasal 6 huruf c UU KPK dikaitkan
dengan pasal 53 UU KPK, nampak bahwa UU KPK menghendaki sistem
peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, pengadilan) yang khusus
mengadili tindak pidana korupsi. Dua pasal tersebut juga menunjukan
bahwa KPK sesungguhnya merupakan sistem peradilan pidana khusus tindak
pidana korupsi.
Pembentuk Undang-Undang KPK memang berniat
mengkonstruksikan suatu bangunan sistem peradilan pidana yang khusus
tindak pidana korupsi. Niatan tersebut tidak lain sebagai upaya
meneruskan visi dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat pegiat
reformasi hukum. Visi dan aspirasi tersebut pada intinya, tidak
mempercayai sistem peradilan pidana yang ada untuk memberantas tindak
pidana korupsi. Padahal, korupsi telah terjadi secara sistemik dan
meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga
melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas (Penjelasan UU No
20/2001).
Tanpa Pengadilan Tipikor.
Pengadilan Tipikor
terancam bubar secara hukum karena putusan Mahkamah Konstutusi Nomor
012-016-019/PUU-IV/2006, yang memerintahkan pembentuk undang-undang agar
paling lambat tiga tahun membentuk undang-undang tentang pengadilan
Tipikor. Dengan demikian, status konstitusionalitas Pengadilan Tipikor
lebih terjamin. Sementara ini keberadaan Pengadilan Tipikor diatur
“dalam undang-undang” yaitu Pasal 53 UU KPK, padahal keharusan
konstitusi menyatakan keberadaan badan peradilan di bawah MA diatur
“dengan undang-undang” (lihat Pasal 24A UUD 1945). Inilah peraturan
perundang-undangan, hanya beda kata “dalam” dengan kata “dengan”
menimbulkan implikasi serius, padahal hakekatnya sama yaitu berdasarkan
undang-undang dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk
mengatur pembentukan badan peradilan dibawah MA. MK melalui putusan
tersebut diatas, telah menyeimbangkan aspek kepastian hukum
(rechmatigheid) dengan kemanfaatan hukum (doelmatigheid). MK. Pada satu
sisi MK mengajak untuk berdisplin dalam berkonstitusi dan pada sisi lain
(kepastian hukum), MK memberikan tenggat waktu berlakunya Pengadilan
Tipikor (kemanfaatan hukum).
Jika tenggat waktu tiga tahun telah
habis, secara demi hukum, Pengadilan Tipikor bubar. Bubarnya Pengadilan
Tipikor membawa akibat hilangnya fungsi KPK sebagai sistem peradilan
pidana khusus tindak pidana korupsi. KPK tidak lagi bisa melakukan
penindakan dalam bentuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, karena
tiga kegiatan tersebut tidak ada lagi pengadilan yang bisa memutus
perkara hasil kerja penindakan oleh KPK. KPK kemudian hanya bisa
menjalankan fungsi yang lain, yaitu supervisi dan koordinasi serta
pencegahan. Pertanyaannya, apakah sistem peradilan pidana sudah
sepenuhnya bisa terpercaya melakukan proses peradilan pada pelaku tindak
pidana korupsi ? Apakah efektif dua fungsi KPK selain fungsi sistem
peradilan pidana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ? Sekaligus,
mengapa DPR sebagai pembentuk undang-undang belum juga membuat
Undang-Undang Tipikor sementara tenggat waktu sudah mau habis, tinggal
hitungan bulan.
Pertanyaan diatas perlu dijawab oleh DPR RI sebagai
pembentuk undang-undang. Apakah langkah DPR tidak segera membentuk
Undang-Undang Tipikor merupakan pernyataan politik secara tidak langsung
yang menjawab dua pertanyaan diatas. Apakah langkah DPR tersebut
merupakan sinyal sikap DPR bahwa dua fungsi KPK selain KPK sebagai
sistem peradilan pidana khusus sudah cukup bagi KPK dan sistem peradilan
pidana yang ada sudah terpercaya untuk melakukan proses pada pelaku
tindak pidana korupsi. Jika benar sikap DPR seperti itu, berarti ada
politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki KPK tanpa
Pengadilan Tipikor. Meskipun Presiden bisa mengeluarkan Perpu
Pembentukan Pengadilan Tipikor sebagai ganti UU yang tidak keluar, namun
Perpu tersebut juga akan batal jika DPR pada tiba waktu menolak Perpu
tersebut. Jadi persoalannya adalah sikap politik hukum pembentuk
undang-undang, apakah menghendaki fungsi sistem peradilan pidana pada
KPK atau tidak.
Skenario Alternatif.
Jika kita andaikan sikap
pembentuk undang-undang memang tidak berkehendak adanya fungsi KPK
sebagai sistem peradilan pidana khusus, Perpu bukanlah solusi karena
Perpu tersebut akan bisa dibatalkan oleh DPR (lihat Pasal 22 UUD 1945).
Harus ada solusi lain. Solusi alternatif adalah mencegah kemudloratan
yang lebih besar, dengan mencari jalan tengah antara kehendak KPK tanpa
Pengadilan Tipikor dengan KPK harus tetap berfungsi sebagai sistem
peradilan pidana. Caranya, dengan mengamandemen pasal 53 UU KPK. Dalam
amandemen tersebut, pengadilan umum bisa memutus perkara yang diajukan
oleh KPK. Dengan demikian, KPK separuh dirinya, masuk dalam sistem
peradilan pidana yang sudah ada. Kita masih bisa berharap mendapatkan
putusan yang baik mengingat hakim agung telah terseleksi secara
transparan dan akuntabel. Meskipun cara ini merupakan kemunduran politik
hukum pemberantasan korupsi, tapi ya itulah, bad politic bad law.
No comments:
Post a Comment