cursor

Tuesday, December 9, 2014

ASAS - ASAS HUKUM PIDANA

PENGERTIAN HUKUM PIDANA
          Untuk terlebih dahulu dijelaskan bahwa hukum pidana terdiri dari hukum pidana Obyektif dan hukum pidana Subyektif. Hukum pidana objektif dibedakan pula antara hukum pidana materil dan hukum pidana materil dan hukum pidana formil.
1. Hukum pidana objektif adalah seluruh peraturan yang memuat tentang larangan atau keharusan disertai ancaman hukuman bagi yang melanggarnya. Dalam bahasa romawi disebut ius poenale.
Hukum pidana materil dibagi menjadi :
a. Hukum pidana umum yakni hukum pidana yang berlaku bagi semua orang ( umum ).
b. Hukum pidana khusus yakni hukum pidana yang berlaku bagi orang-orang tertntu misalnya pengadilan militer.
Hukum pidana formil adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum pidana materil. Hukum pidana formil mengatur bagaimna menerapkan sanksi terhadap seseorang yang melanggar hukum pidana materil.

2. Hukum pindana Subjektif adalah hak Negara untuk menghukum seseorang berdasarkan hukum objektif. Hak-hak Negara tersebut antara lain :
a) Hak Negara untuk memberikan ancaman hukum.
b) Hak jaksa untuk menuntut pelaku tindak pidana
c) Hak hakim untuk memeutuskan suatu perkara.

       Pengertian hukum pidana adalah seluruh peraturan-peraturan hukum yang mangandung larangan, perintah dan keharusan dan bagi siapa yang melanggar ketentuan itu dikenakan sanksi hukuman berupa hukuman.

SEJARAH HUKUM PIDANA / KUHP
         Dizaman Belanda hukum pidana untuk orang Eropa diatur dalam Staatsblaad 1966 No. 55 sedangkan untuk penghuni Indonesia lainnya diatur dalam undang-undang hukum pidana tersendiri berdasar staadsblaad 1872 no. 85. kemudian pada tahun 1915 dibentuk suatu kodifikasi kitab undang-undang hukum pidana baru melalui staatsblaad 1915 no.73. kodifikasi itu disebut Wetboek van Strafrecht voor Nedrlandch Indie. Kitap KUHP disebut diperlakukan bagi seluruh penghuni Indonesia pada tanggal 1 januari 1918.

SISTEMATIKA KUHP
KUHP terdiari atas tiga bab dan 569 pasal.
Bab I memuat ketentuan-ketentuan umum
Bab II mengatur tentang tindak pidana kejahatan
Bab III mengatur tentang tindak pidana pelanggaran.

SIFAT HUKUM PIDANA
     Menurut sifatnya hukum pidana itu adalah hukum publik, karena hukum pidana dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara individu dengan Negara dan Masyarakat.

TUGAS ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA
        Tugas ilmu pengetahuan hukum pidana adalah :
a) Mempelajari dan menjelaskan azas-azas yang menjadi dasar dari peraturan hukum pidana yang berlaku pada suatu saat dan suatu tempat tertentu.
b) Mempelajari dan menjelaskan hubungan antara azas-azas yang satu.
c) Setelah kita memahami hubungan itu, maka kita tempatkan azas-azas itu dalam suatu susunan yang teratur agas kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan hukum pidana, karena hukum pidana merupakan suatu hukum positif.
     KRIMINOLOGIE yaitu suatu ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari dan menentukan cara membrantas kejahatan itu.
       Dipandang dari sudut sebab kejahatan ilmu pengetahuan itu disebut : CRIMINELE AETIOLOGIE kalau dipandang dari sudut cara-caranya memberantas kejahatan itu, ilmu pengetahuan juga disebut “CRIMINELE POLITIEK.
      CRIMINELE AETIOLOGIE yang mencarai sebab-sebab kejahatan mengadakan reset dipenjara-penjara atau lembaga-lembaga pemasyarakatan.

TEORI-TEORI HUKUM PIDANA ( STRAFRECHTSTHEORIEEN )
a. Teori Absolut atau teori pembahasan. Yang dianggap sebagai dasar hukum pada hukuman adalah pembalasan. Aliran ini lahir akhir abad ke 18 yang dianut oleh ahli Filsafat Jerman.
b. Teori Relatif atau teori tujuan ( del Relative atau deltheorieen ). Berpendapat bahwa dasar hukum dari hukuman itu adalah tujuan dari hukuman itu karena hukuman itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Menurut teori ini pokok yang menjadi dasar hubungan adalah “mempertahankan ketertiban masyarakat”

DELIK DAN SUBJEK DELIK
A. Delik
       Adalam perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, perbuatan mana yang dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan dan kepada pembuatnya dapat dipersalahkan. Syarat-syarat delik sebagai berikut :
1. harus ada perbuatan manusia
2. perbuatan manusia itu bertangtangan dengan hukum
3. perbuatan itu harus dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan hukuman.
4. perbuatan tersebut harus dilakukan oleh seseorang dan dapat dipertanggung jawabkan.
5. perbuatan tersebut harus dapat dipersalahkan kepada pembuat.
B. Subjek Delik
       Siapakah yang dapat melakukan suatu delik ?? subjek delik adalah manusia. Darimana kita kita ketahui bahwa hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek delik itu. Undang-undang hukum pidana tidak menyatakan dengan tegas siapa subjek delik itu. Kita harus mencari bahan-bahan untuk menyimpulkan bahwa orang sajalah yang merupakan subjek delik. Untuk hal itu kita mempunyai tiga sandaran yaitu :
a) diambil dari cara perumusan suatu delik dari KUHP pada umumnya. Jika dipelajari beberapa rumusan delik dalam KUHP, pada umumnya delik selalu diawali dengan kata : Barang siapa. Misalnya pasal 362,338.
b) Diambil dari pasal 10 dan pasal berikutnya : pasal 10 mengatur jenis-jenis hukuman pokok yakni :
o Hukuman mati
o Hukuman penjara
o Hukuman kurungan
o Hukuman denda
Hukuman tambahan :
o Pencabutan hak tertentu
o Perampasan barang-barang tertentu
o Pengumuman keputusan hakim
Jadi dari jenis-jenis hukuman itu dapat disimpulkan bahwa jenis tersebut hanya dapat dijalankan oleh manusia.
Hukum penjara yang berlaku sekarang didasarkan atas kesalahan pribadi dari seorang manusia yang di dasarkan pada tatasusila.

Adapun asas yang diatur dalam KUHP sebagai berikut :
1. Azas menurut waktu.
Dalam pasal 1 KUHP ada tiga asas yang dianut antara lain :
I. Asaz bahwa hukum pidana hanya bersumber pada undang-undang atau hukum tertulis.
II. Asas bahwa undang-undang hukum pidana tidak boleh berlaku surut
III. Asas bahwa hukum pidana tidak boleh ditafsirkan secara analogi.
2. Azas Menurut Tempat
Asas berlakunya hukum pidana menurut tempat bermanfaat dan berguna untuk mengetahui sampai dimanakah berlakunya UU hukum pidana dalam suatu Negara, apakah terhadap seseorang berlaku KUHP atau hukum asing

TEMPAT DAN WAKTU TINDAK PIDANA
Adapun manfaat untuk mengetahui tempat dan waktu adalah :
1. Tempat
a. Untuk mengetahui dimanakah orang melakukan tindak pidana, dengan demikian kita dapat mengetahui UU pidana mana yang diperlukan. Contoh : seorang di Singapore mengirim suatu benda melalui pos ke Jakarta, ternyata paket itu setelah diterima mengandung bahan peledak dan orang yang menerimanya meninggal akibat ledakan tersebut. Dalam peristiwa ini manakah tempat kejahatan pembunuhan ??? Singapore atau Jakarta. Jika Singapore dianggap sebagai tempat kejahatan, maka UU Singapore yang diperlakukan, jika Jakarta maka KUHP Indonesia yang diperlakukan.
b. Untuk mengetahui dan memnentukan kekuasaan kehakiman atau peradilan.

2. Waktu
     Pentingnya mengetahui waktu terjadinya kejahatan berhubung dengan peralihan seperti disebut dalam pasal 1 ayat 2 KUHP. Jika terjadi perubahan UU setelah perbuatan itu dilakukan maka bagi si terdakwa dipakai aturan yang lebih ringan. Contoh :
Pada tanggal 1 Januari 200 UU melarang mengangkut barang, kecuali dengan seizin pemerintah. Jika tidak dikenakan denda sebesar 1 juta. 1 appril 2009 UU itu diubah dan hukuman menjadi lebih ringan. Maka ketika hal itu disidangkan maka denda yang dikenakan kepada yang bersangkutan hanya didenda sesuai dengan ketentuan yang barui.
       Dalam masalah tempat dan waktu perbuatan pidana, karena UU tidak dapat memecahkannya, maka bisa digunakan doktrin. Jadi dalam hal ini diserahkan kepada ilmu pengetahuan. Mengenai tempat dan waktu delik tersebut ada beberapa doktrin antara lain :
1) In doktrin de leer van de dichamelighe daad
2) Doktrvan hat instrument
3) Doktrin de leer van het govolg
4) Doktrin de leer meervordige plaats on meervoudigetik

OPZET DAN CULPA
1. Opzet
       Adalah kesengajaan dan ia merupakan salah satu unsur delik, KUHP tidak memberikan pemecahan secara jelas, oleh karena itu pemecahan melalui doktrin. Menurut doktrin, inti dari pada opzet aalah kehendak seseorang. Kehendak seseorang itu ditujukan kepada :
a. Perubahan yang dilakukan oleh seseorang, yakni dinamakan formil opzet
b. Akibat dari kehendak itu dan ini dinamakan dengan Material opzet.


2. Culpa
      Adalah suatu kelainan misalnya pasal 338 : Barang siapa yang dengan sengaja menghilangkan jiwa orang karena pembunuhan bisa dihukum dengan hukuman penjara 15 tahun. Pasal 359 menyebutkan : Barang siapa karena kelainannya menyebabkan orang mati dihukum dnegan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun. Dalam pasal ini kejahatan pembunuhan dilakukan dengan tidak sengaja melainkan dengan kelainan. Menurut doktrin culpa itu ada dua syarat :
a. Aabila seseorang dapat dikatakan lalai apabila ia kurang hatihati melakukannya.
b. Akibat yang dituju oleh perbuatan seseorang itu harus dapat dibayangkan oleh sipembuat.

POGING
      Adalah percobaan untuk melakukan suatu tindak pidana. Pasal 54 KUHP menentukan syarat-syarat poging adalah :
1. si pembuat harus mempunyai kehendak untuk melakukan kejahatan
2. kehendak tersebut diatas telah terwujud dalam suatu perbuatan permulaan.
3. pelaksanaan telah dimulai tidak selesai yang semata-mata disebabkan oleh hal-hal atau masalah-masalah yang tidak tergantung pada si pembuat.

PELAKU TINDAK PIDANA
A. Dader
     Adala barang siapa yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik. KUHP memberi rincian tentang Dader dalam pasal 55,56,. Pasal 55 KUP menjelaskan dader terdiri dari 24 macam :
1. Plegen ( Pelaku )
Adalah Orang atau barang siapa yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang dilarang oleh UU.
2. Doen Plegen ( Yang menyuruh )
Adalah orang yang menyuru melakukan delik. Atau seseorang berkehendak melakukan delik.
3. Medeplegen ( Yang ikut melakukan )
Adalah beberapa orang secara bersama-sama melakukan delik.

B. Doelneming
     Adalah suatu perbuatan yang dalam suatu delik bersangkutan beberapa orang ayau lebih dari seorang.

SISTEM PERADILAN PIDANA KHUSUS

1. Pendahuluan
         KORUPSI telah meluluhlantankkan sendiri-sendi kehidupan bernegara dan memandulkan fungsi negara sebagai pengemban amanat mensejahterakan, melayani dan mencerdaskan rakyat. Kejahatan ini telah terjadi secara sistemik dan meluas, melibatkan setiap struktur aparatur negara secara bersekongkol, setitik kebaikan yang tumbuh menjadi musuh bersama di internal institusi negara, aparatur negara tidak lagi mengabdikan dirinya untuk kepentingan rakyat tapi berlomba-lomba memperkaya dirinya sendiri, predikat sebagai abdi negara hanyalah simbol kehormatan tanpa makna, karena hanya sebagai tameng untuk menutupi praktek-praktek kebathilan, akibatnya jutaan orang menganggur, miskin, lapar dan terbelakang. Oleh karena itulah korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang upaya pemberantasannya juga harus dilakukan denga cara yang luar bisa pula.

          Dalam Penjelasan umum UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan :
”.......mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus.......”

Penjelasan umum UU No. 30 tahun 2002 juga menyatakan :
           ”Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistemis juga merupakan pelaggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.
”Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara komvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan”

2. Pembahasan
              Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama; fungsi pencegahan. Kedua fungsi; supervisi dan koordinasi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga; fungsi penindakan. Fungsi penindakan ini meliputi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan (pasal 6 huruf c UU KPK). Sebagai kelanjutan dari fungsi tersebut pembentuk undang-undang menetapkan adanya pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) yang berwenang memutus perkara yang diajukan oleh KPK. (pasal 53 UU KPK). Ketentuan pasal 53 tersebut menegaskan bahwa hanya Pengadilan Tipikor yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK, selain Pengadilan Tipikor tidak ada pengadilan yang berwenang memutus perkara yang diajukan KPK. Jika pasal 6 huruf c UU KPK dikaitkan dengan pasal 53 UU KPK, nampak bahwa UU KPK menghendaki sistem peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, pengadilan) yang khusus mengadili tindak pidana korupsi. Dua pasal tersebut juga menunjukan bahwa KPK sesungguhnya merupakan sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.
               Pembentuk Undang-Undang KPK memang berniat mengkonstruksikan suatu bangunan sistem peradilan pidana yang khusus tindak pidana korupsi. Niatan tersebut tidak lain sebagai upaya meneruskan visi dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat pegiat reformasi hukum. Visi dan aspirasi tersebut pada intinya, tidak mempercayai sistem peradilan pidana yang ada untuk memberantas tindak pidana korupsi. Padahal, korupsi telah terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas (Penjelasan UU No 20/2001).

Tanpa Pengadilan Tipikor.
               Pengadilan Tipikor terancam bubar secara hukum karena putusan Mahkamah Konstutusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, yang memerintahkan pembentuk undang-undang agar paling lambat tiga tahun membentuk undang-undang tentang pengadilan Tipikor. Dengan demikian, status konstitusionalitas Pengadilan Tipikor lebih terjamin. Sementara ini keberadaan Pengadilan Tipikor diatur “dalam undang-undang” yaitu Pasal 53 UU KPK, padahal keharusan konstitusi menyatakan keberadaan badan peradilan di bawah MA diatur “dengan undang-undang” (lihat Pasal 24A UUD 1945). Inilah peraturan perundang-undangan, hanya beda kata “dalam” dengan kata “dengan” menimbulkan implikasi serius, padahal hakekatnya sama yaitu berdasarkan undang-undang dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur pembentukan badan peradilan dibawah MA. MK melalui putusan tersebut diatas, telah menyeimbangkan aspek kepastian hukum (rechmatigheid) dengan kemanfaatan hukum (doelmatigheid). MK. Pada satu sisi MK mengajak untuk berdisplin dalam berkonstitusi dan pada sisi lain (kepastian hukum), MK memberikan tenggat waktu berlakunya Pengadilan Tipikor (kemanfaatan hukum).
         Jika tenggat waktu tiga tahun telah habis, secara demi hukum, Pengadilan Tipikor bubar. Bubarnya Pengadilan Tipikor membawa akibat hilangnya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi. KPK tidak lagi bisa melakukan penindakan dalam bentuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, karena tiga kegiatan tersebut tidak ada lagi pengadilan yang bisa memutus perkara hasil kerja penindakan oleh KPK. KPK kemudian hanya bisa menjalankan fungsi yang lain, yaitu supervisi dan koordinasi serta pencegahan. Pertanyaannya, apakah sistem peradilan pidana sudah sepenuhnya bisa terpercaya melakukan proses peradilan pada pelaku tindak pidana korupsi ? Apakah efektif dua fungsi KPK selain fungsi sistem peradilan pidana untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ? Sekaligus, mengapa DPR sebagai pembentuk undang-undang belum juga membuat Undang-Undang Tipikor sementara tenggat waktu sudah mau habis, tinggal hitungan bulan.
              Pertanyaan diatas perlu dijawab oleh DPR RI sebagai pembentuk undang-undang. Apakah langkah DPR tidak segera membentuk Undang-Undang Tipikor merupakan pernyataan politik secara tidak langsung yang menjawab dua pertanyaan diatas. Apakah langkah DPR tersebut merupakan sinyal sikap DPR bahwa dua fungsi KPK selain KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus sudah cukup bagi KPK dan sistem peradilan pidana yang ada sudah terpercaya untuk melakukan proses pada pelaku tindak pidana korupsi. Jika benar sikap DPR seperti itu, berarti ada politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki KPK tanpa Pengadilan Tipikor. Meskipun Presiden bisa mengeluarkan Perpu Pembentukan Pengadilan Tipikor sebagai ganti UU yang tidak keluar, namun Perpu tersebut juga akan batal jika DPR pada tiba waktu menolak Perpu tersebut. Jadi persoalannya adalah sikap politik hukum pembentuk undang-undang, apakah menghendaki fungsi sistem peradilan pidana pada KPK atau tidak.

Skenario Alternatif.
               Jika kita andaikan sikap pembentuk undang-undang memang tidak berkehendak adanya fungsi KPK sebagai sistem peradilan pidana khusus, Perpu bukanlah solusi karena Perpu tersebut akan bisa dibatalkan oleh DPR (lihat Pasal 22 UUD 1945). Harus ada solusi lain. Solusi alternatif adalah mencegah kemudloratan yang lebih besar, dengan mencari jalan tengah antara kehendak KPK tanpa Pengadilan Tipikor dengan KPK harus tetap berfungsi sebagai sistem peradilan pidana. Caranya, dengan mengamandemen pasal 53 UU KPK. Dalam amandemen tersebut, pengadilan umum bisa memutus perkara yang diajukan oleh KPK. Dengan demikian, KPK separuh dirinya, masuk dalam sistem peradilan pidana yang sudah ada. Kita masih bisa berharap mendapatkan putusan yang baik mengingat hakim agung telah terseleksi secara transparan dan akuntabel. Meskipun cara ini merupakan kemunduran politik hukum pemberantasan korupsi, tapi ya itulah, bad politic bad law.

PENGERTIAN HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana

       Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah “Hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan”
       Pengertian lain adalah, “Hukum pidana adalah peraturan hukum tentang pidana”. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak dilimpahkan sehari-hari.
Sedangkan Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa “Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman  atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut “.

            Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan definisi sebagai berikut:
“Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum“.
         Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T kansil adalah:
1. Badan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
2. Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.
B. Ruang Lingkup Hukum Pidana
     Dilihat dari ruang lingkupnya hukum pidana dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis,
2. Hukum pidana sebagai hukum positif,
3. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik,
4. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif,
5. Hukum pidana material dan hukum pidana formal,
6. Hukum pidana kodifikasi dan hukum pidana tersebar,
7. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus,
8. Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat.
         Hukum pidana objektif (ius peonale) adalah seluruh garis hukum mengenai tingkah laku yang diancam dengan pidana jenis dan macam pidana, serta bagaimana itu dapat dijatuhkan dan dilaksakan pada waktu dan batas daerah tertentu. Artinya, seluruh warga dari daerah (hukum) tersebut wajib menaati hukum pidana dalam arti objektif tersebut.
        Hukum pidana objektif (ius peonale) ialah semua peraturan yang mengandung/memuat larangan/ancaman dari peraturan yang diadakan ancaman hukuman. Hukum pidana objektif ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Hukum pidana material, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung perumusan: perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, hukum apakah yang dapat dijatuhkan.
2. Hukum pidana formal, yaitu disebut juga sebagai hukum acara, memuat peraturan-peraturan bagaimana cara negara beserta alat-alat perlengkapannya melakukan hak untuk menghukum (mengancam, menjatuhkan, atau melaksanakan).
       Hukum pidana subjektif (ius puniendi) merupakan hak dari penguasa untuk mengancam suatu pidana kepada suatu tingkah laku sebagaimana digariskan dalam hukum pidana objektif, mengadakan penyidikkan, menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana untuk melaksanakan pidana yang dijatuhkan. Persoalan mengenai apakah dasarnya atau darimana kekuasaan penguasa tersebut, jawabannya menurut E.Y Kanter terletak pada falsafah dari hukum pidana.
       Hukum pidana umum (alegemen strafrecht) adalah hukum pidana yang berlaku untuk tiap penduduk, kecuali anggota militer, nama lain dari hukum pidana umum adalah hukum pidana biasa atau hukum pidana sipil (commune strafrecht). Akan tetapi dilihat dari segi pengkodifikasiannya maka KUHP pun disebut sebagai hukum pidana umum, dibanding dengan perundang-undangan lainnya yang tersebar.
Hukum pidana khusus adalah suatu peraturan yang hanya ditunjukkan kepada tindakkan tertentu (tindak pidana subversi) atau golongan tertentu (militer) atau tindakkan tertentu, seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi, dan lain-lain.
       Menurut Samidjo, S.H. hukum pidana khusus dapat disebut:
a. Hukum pidana militer,
b. Hukum pidana fiskal (pajak),
c. Hukum pidana ekonomi,
d. Hukum pidana politik.
        Jika suatu perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam peraturan pidana khusus, yang khusus itulah yang dikenakan, Adagium untuk itu adalah, “Lex specialis derograt lex generalis” jadi, hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana umum. Hal dapat kita lihat pada KUHP nasional yang ditentukan dalam pasal 63 ayat 2 KUHP dan pasal 103 KUHP.
        Hukum pidana militer merupakan ketentuan-kententuan pidana yang tercantum dalam KUHP militer atau disebut KUHPT, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara dan dikenal juga KUHDT, Kitab Undang-undang Displin Tentara.
• Hukum pidana fiskal (pajak) merupakan ketentuan-ketentuan pidana yang tercatum dalam undang-undang mengenai pajak.
• Hukum pidana ekonomi merupakan ketentuan yang mengatur pelanggaran ekonomi yang dapat mengganggu kepentingan umum.
• Hukum pidana politik merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur kejahatan-kejahatan politik, misalnya menghianati rahasia negara, intervensi, pemberontakan, sabotase.

C. Hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain.
        Hukum pidana adalah teori mengenai aturan-aturan atau norma-norma hukum pidana. Dalam ruang lingkup sistem ajaran hukum pidana, yamg dinamakan disiplin hukum pidana sebenarnya mencakup ilmu hukum pidana, politik hukum pidana, dan filsafat hukum pidana. Ilmu hukum pidana mencakup beberapa cabang ilmu, ilmu hukum pidana merupakan mencakup ilmu-ilmu sosial dan budaya. Ilmu-ilmu hukum pidana tersebut mencakup ilmu tentang kaedah dan ilmu tentang pengertian yang keduanya disebut sebagai dogmatika hukum pidana serta ilmu tentang kenyataan.
        Politik hukum pidana mencakup tindakkan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai tersebut didalam kenyataan. Politik hukum pidana merupakan pemilihan terhadap nilai-nilai untuk mencegah terjadinya delikuensi dan kejahatan.
          Filsafat hukum pidana pada hakekatnya merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan.
         Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematisasi kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
       Sosiologi hukum pidana memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, serta efektifitasnya di dalam masyarakat. Oleh karena itu ruang lingkup sosiologi hukum pidana sebagai berikut:
a. Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan warga masyarakat;
b. Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;
c. Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;
d. Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak hukum;
e. Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama pola prilakunya.
          Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi mencakup tiga bagian pokok yaitu:
a. Sosiologi hukum pidana yang meneliti dan menganalisis kondisi-kondisi tempat hukum pidana berlaku;
b. Etiologi kriminal yang meneliti serta mengadakan analisis terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan;
c. Penologi yang ruang lingkupnya mencakup pengendalian terhadap kejahatan.
         Kriminologi merupakan teori tentang gejala hukum. Dari pengertian ini nampak adanya hubungan antara hukum pidana dengan kriminologi bahwa keduanya sama-sama bertemu dalam kejahatan, yaitu perbuatan/tingkah laku yang diancam pidana.
        Adapun perbedaan hukum pidana dan kriminologi terletak pada objeknya. Objek hukum pidana menunjuk pada apa yang dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang berlaku. Sedangkan objek kriminologi tertuju pada manusia yang melanggar hukum pidana dan kepada lingkungan manusia-manusia tersebut. Dengan demikian, wajarlah bila batasan luas kedua objek ilmu itu tidak sama. Hal ini melahirkan kejahatan sebagai objek hukum pidana dan kejahatan sebagai objek kriminologi.
       Hukum pidana memperhatikan kejahatan sebagai pristiwa pidana yang dapat mengancam tata tertib masyarakat, serta kriminologi mempelajari kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang melibatkan individu sebagai manusia.
        Dengan demikian, hukum pidana melihat bahwa perbuatan melanggar ketentuan hukum pidana disebut sebagai kejahatan, sedangkan kriminologi melihat bahwa perbuatan bertentangan dengan hati nurani manusia disebut kejahatan.
       Titik tolak sudut pandang hukum pidana memiliki dua dimensi yaitu, unsur kesalahan dan unsur melawan hukum. Demikian pula kriminologi memiliki dua dimensi, yaitu faktor motif (mental, psikologi, penyakit, herediter) dan faktor sosial yang memberikan kesempatan bergerak. Hukum pidana menekankan pada pertanggungjawaban, sedangkan kriminologi menekankan pada accountabillity apakah perbuatan tersebut selayaknya diperhitungkanpada pelaku, juga cukup membahayakan masyarakat. Dalam kriminologi, unsur kesalahan tidak relevan.
Interaksi hukum pidana dan kriminoligi disebabkan hal-hal berikut:
a. Perkembangan hukum pidana akhir-akhir ini menganut sistem yang memberikan kedudukkan penting bagi kepribadian penjahat dan menghubungkan dengan sifat dan berat-ringannya (ukuran) pemidanaannya.
b. Sejak dulu telah ada perlakuan khusus bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan orang-orang gila dan anak-anak yang menyangkut perspektif-perspektif dan pengertian-pengertiannya. Kriminologi terwujud sedemikian rupa dalam hukum pidana sehingga Criminale science sekarang menghadapi problema-problema dan tugas-tugas yang sama sekali baru dan berhubungan erat dengan kriminologi. Kriminologi tidak tergantung pada perspektif-perspektif dan nilai-nilai hukum pidana. Hubungan yang erat dengan kriminalitas merupakan syarat utama sehingga berlakunya norma-norma hukum pidana dapat diawasi oleh kriminologi.

       Dalam hubungan dengan dogmatik hukum pidana, kriminologi memberikan kontribusinya dalam menentukkan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat dihukum. Sekian Terimakasih



Helpi Nurdian

Monday, February 17, 2014

PELANGGARAN HAM INTERNASIONAL

Sanksi Pelanggaran HAM pada Peradilan Internasional


Esensi pelanggaran HAM bukan semata-mata pelanggaran terhadap undang-undang yang berlaku melainkan degradasi terhadap kemanusiaan dengan cara merendahkan martabat dan derajat manusia. Oleh karena itu, pelanggaran HAM tidak selalu identik dengan pelanggaran hukum walaupun terdapat unsur perencanaan, dilakukan secara sistematik dan tujuan tertentu dan bersifat kolektif baik berdasarkan agama, etnik, atau ras tertentu.
Dewasa ini pelanggaran HAM tidak sebatas yuridiks nasional melainkan sudah menjadi yuridiksi internasional. Menghadapi pelanggaran HAM yang terjadi di setiap negara di dunia diperlukan sanksi internasional yang mengacu kepada ketentuan dalam Statu Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) atau SMPI atau Statua Rokma (SR, 1998) atau dapat juga mengacu kepada praktek-praktek penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat seperti di Ruwanda (1994)
Jika dianalisis secara seksama jiwa SMPI/SR terletak pada mukadimahnya yang antara lain berbunyi bahwa “ Yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional (MPI) bersifat komplementer terhadap yuridiksi pengadilan nasional”. Hal ini berarti jika suatu negara terjadi kasus pelanggaran HAM berat (kejahatan genosia, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi) yuridiksi MPI tidak otomatis berlaku di negara tersebut.
Namun ada ketentuan lain dalam SMPI/SR yang menyatakan bahwa yuridiksi MPI dapat memasuki wilayah suatu negara jika negara tersebut tidak berkeinginan atau tidak mampu melaksanakan tugas penyelidikan atau penuntutan dalam tiga hal sebagai berikut.
a.      Proses peradilan atau putusan pengadilan yang dijatuhkan ditunjukan untuk melindungi seseorang dari pertanggung jawaban pidana sebagaimana ditentukan dalam SMPI/SR
b.      Proses persidangan ditunga-tunda tanpa alasan yang jelas dan dapat di pertanggung jawabkan sehingga tidak konsisten untuk mengadili seseorang kehadapan sidang pengadilan
c.      Persidangan dilaksanakan tidak secara independen atau bersifat memihak sehingga tidak konsisten dengan tujuan pemberian sanksi melalui sidang pengadilan.

PASAL 531 KUHP (Meninggalkan orang yang membutuhkan Pertolongan)

Perbuatan seseorang yang meninggalkan orang lain yang membutuhkan pertolongan, dapat diancam pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 531 (“KUHP”):
 
“Barangsiapa menyaksikan sendiri ada orang di dalam keadaan bahaya maut, lalai memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat diberikannya atau diadakannya dengan tidak menguatirkan, bahwa ia sendiri atau orang lain akan kena bahaya, dihukum kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,- Jika orang yang perlu ditolong itu mati.”
 
Mengenai pasal ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “dalam keadaan bahaya maut” adalah bahaya maut yang ada seketika itu, misalnya orang berada dalam rumah terbakar, tenggelam di air, seorang akan membunuh diri, dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud “memberikan pertolongan” adalah menolong sendiri; dan “mengadakan pertolongan” adalah misalnya memintakan pertolongan polisi atau dokter. Pasal ini hanya dapat dikenakan apabila dengan memberi pertolongan itu tidak dikuatirkan bahwa orang itu sendiri dibahayakan atau orang lain dapat kena bahaya dan orang yang perlu ditolong itu mati.
 
S.R. Sianturi, S.H. juga memberikan penjelasan terkait pasal tersebut, dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. S.R. Sianturi, S.H. mengatakan bahwa subjek adalah barangsiapa dengan pembatasan ia hadir dan sadar pada waktu seseorang itu dalam keadaan bahaya maut (unsur subjek dan waktu) dan tanpa membahayakan diri sendiri/orang lain. Unsur melawan hukum dari tindakan ini bersumber pada pengabaian ketentuan hukum yang berlaku secara umum di masyarakat yaitu: bahwa setiap orang berkewajiban untuk memberi atau mengusahakan pertolongan untuk penyelamatan seseorang.
 
Lebih lanjut S.R. Sianturi, S.H. menjelaskan bahwa tindakan “mengabaikan memberi pertolongan” berarti mengabaikan untuk secara sepenuhnya dan secara aktif menolong sang korban. Sedangkan, tindakan “mengabaikan mengusahakan pertolongan” berarti tidak mengusahakan sesuatu yang mungkin ia lakukan seperti misalnya memanggil penguasa atau orang lain untuk memberi pertolongan karena ia misalnya tidak berkemampuan.
 
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa seseorang mempunyai kewajiban menolong orang lain yang berada dalam keadaan bahaya, selama pemberian bantuan tersebut tidak membahayakan dirinya sendiri. Atau jika orang tersebut tidak dapat menolong orang yang membutuhkan bantuan dengan tenaganya sendiri, ia mempunyai kewajiban untuk meminta pertolongan kepada orang lain yang dianggap bisa membantu.
 
Jika Anda takut memberikan bantuan karena keselamatan Anda dapat terancam, Anda dapat mencari pertolongan dari orang lain yang sekiranya mampu untuk menolong orang yang terancam tersebut.
 
Jadi pada dasarnya jika Anda tidak memberikan pertolongan atau tidak mencari pertolongan padahal Anda dapat melakukannya dan hal tersebut tidak membahayakan keselamatan Anda atau orang lain yang juga turut membantu, Anda dapat dipidana berdasarkan Pasal 531 KUHP ini.

HUKUM BISNIS

Pengertian Hukum Bisnis

Pengertian hukum bisnis lebih sering diidentikkan dengan hukum ekonomi. Padahal pengertian hukum bisnis berada di ruang lingkup yang lebih kecil daripada hukum ekonomi. Pengertian hukum bisnis sangat jarang diketahui oleh karena pengertian hukum bisnis hanya menjadi kepentingan bagi para penggelut dunia bisnis atau akademisi dan mahasiswa yang konsentrasi pada jurusan hukum bisnis.

Sebenarnya pengertian hukum bisnis ini pernah kami ulas dalam artikel sebelumnya yang berjudul hukum bisnis. Untuk menemukannya anda bisa lihat pada menu kategori hukum bisnis dibawah menu hukum perdata. Namun artikel tersebut kami rasa masih kurang dan karenanya tetap merasa perlu untuk memberikan tambahan pengertian hukum bisnis. Sehubungan dengan hal tersebut, melalui artikel ini kami akan berbagi pengetahuan sedikit mengenai pengertian hukum bisnis.

Pengertian hukum bisnis secara umum
Hukum bisnis dapat dipahami sebagai hukum yang mengatur tentang aktivitas ekonomi. Aktivitas tersebut berupa perdagangan, pelayanan jasa, dan keuangan yang dilaksanakan secara terus menerus, bertujuan mendapatkan keuntungan. Aktivitas ekonomi itulah yang disebut sebagai bisnis. Kegiatan usaha atau aktivitas ekonomi tersebut dijalankan oleh perorangan atau badan usaha. Seiring berkembangnya jaman, cara manusia melakukan kegiatan ekonomi juga semakin beragam. Di zaman dulu, orang melakukan kegiatan ekonomi secara sederhana, seperti berdagang. Dewasa ini kegiatan ekonomi bisa dilakukan dengan mendirikan badan usaha atau badan hukum.

Berikut ini adalah beberapa kegiatan bisnis.
1.Usaha sebagai kegiatan perdagangan (commerce), yaitu seluruh kegiatan jual beli yang dilakukan oleh perorangan dan badan hukum. Kegiatan perdagangan ini bisa dilakukan di dalam dan di luar negeri. Tujuan dari usaha perdagangan ini untuk mendapatkan keuntungan. Contohnya adalah dealer, agen, grosir, toko dan lain sebagainya.
2.Usaha sebagai kegiatan industri, yaitu kegiatan yang memproduksi, menghasilkan barang atau jasa yang berguna bagi masyarakat. Contohnya industri pertaniain, perkebunan, pertambangan, pabrik semen, pakaian dan sebagainya.
3.Usaha sebagai kegiatan melaksanakan jasa, yaitu kegiatan melaksanakan jasa atau mnyediakan jasa yang dilakukan secara perorangan atau badan usaha. Contohnya jasa perhotelan. Konsultan, asuransi, pariwisata, pengacara, akuntan dan sebagainya.

Dari beberapa kegiatan bisnis yang diungkapkan diatas, maka dapat disimpulkan pengertian hukum bisnis secara sederhana, yakni sebagai peraturan yang dibuat untuk mengatur kegiatan bisnis. Agar kegiatan itu dijalankan dengan adil.

Pengertian hukum bisnis secara umum adalah peraturan-peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah dengan maksud untuk mengatur, mengawasi dan melindungi seluruh kegiatan bisnis, meliputi kegiatan industri, perdagangan dan pelaksanaan jasa serta semua hal yang berhubungan dengan kegiatan keuangan dan kegiatan bisnis lainnya. Hukum bisnis merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatur lalu lintas kegiatan ekonomi agar tercipta keamanan dan ketertiban dalam bidang ekonomi Indonesia. Apabila kaidah hukum dalam bidang bisnis ini dilanggar, maka akan diberikan sanksi yang tegas.

HUKUM DARI JUAL BELI

HUKUM JUAL BELI
Perdagangan adalah jual beli dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Penjualan merupakan transaksi paling kuat dalam dunia perniagaan bahkan secara umum adalah bagian yang terpenting dalam aktivitas usaha. Kalau asal dari jual beli adalah disyariatkan, sesungguhnya di antara bentuk jual beli ada juga yang diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Oleh sebab itu, menjadi satu kewajiban bagi seorang usahawan muslim untuk mengenal hal-hal yang menentukan sahnya usaha jual beli tersebut, dan mengenal mana yang halal dan mana yang haram dari kegiatan itu, sehingga ia betul-betul mengerti perso-alan. Dalam pembahasan ini penulis akan memaparkan beberapa persoalan yang berkaitan dengan masalah jual beli. Mari kita mengikuti pembahasan berikut ini:

PENGERTIAN JUAL-BELI
Secara etimologis artinya: Menukar harta dengan harta.(1) Secara terminologis artinya: Transaksi penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Sengaja diberi pengecualian "fasilitas" dan "kenikmatan", agar tidak termasuk di dalamnya pe-nyewaan dan menikah.

(1) Jual beli adalah dua kata yang saling berlawanan Martina, namun masing-masing sering digunakan untuk arti kata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagai pembeli dan penjual. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dua orang yang berjual beli memiliki hak untuk menentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli." Akan tetapi bila disebutkan secara umum, yang terbetik dalam hak adalah bahwa kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkan barang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan bayaran. Penjual adalah yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itu miliknya dengan kompensasi pembayaran.


DISYARIATKANNYA JUAL-BELI

Jual beli disyariatkan berdasarkan konsensus kaum mus-limin. Karena kehidupan umat menusia tidak bisa tegak tanpa adanya jual beli. Allah berfirman:

"Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba.." (Al-Baqarah: 275).

KLASIFIKASI JUAL BELI

Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Kami akan menyebutkan sebagian di antara pembagian tersebut:

1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan

Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaran uang dengan uang. Ketiga: Jual beli muqayadhah atau barter. Yakni menukar barang dengan barang.

2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga

a) Jual beli Bargainal (Tawar-menawar). Yakni jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.

b). Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual mem-beritahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain:

* Jual beli murabahah. Yakni jual beli dengan modal dan ke-untungan yang diketahui.

* Jual beli wadhi"ah. yakni jual dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian yang diketahui.

* Jual beli tauliyah. Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian.

Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga dan tawar menawar.

c) Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.

Kebalikannya disebut dengan jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagang-annya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga ter-murah yang mereka tawarkan.

3. Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran

Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:

* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.

* Jual beli dengan pembayaran tertunda.

* Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.

* Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda.

SYARAT-SYARAT SAH JUAL BELI

Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjual-belikan.

Pertama: Yang berkaitan dengan pihak-pihak pelaku, harus memiliki kompetensi dalam melakukan aktivitas itu, yakni dengan kondisi yang sudah akil baligh serta berkemampuan memilih. Tidak sah transaksi yang dilakukan anak kecil yang belum nalar, orang gila atau orang yang dipaksa.

Kedua: Yang berkaitan dengan objek jual belinya, yakni sebagai berikut:

a. Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa dise-rahterimakan, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.

Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda ter-sebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian.

Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu. Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-Salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kri-terianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan bela-kangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini.

Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang ber-ada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan be-tina.

Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Na-mun yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.

b. Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor "ketidaktahuan" yang bisa termasuk "menjual kucing dalam karung", karena itu dilarang.

c. Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak di-ketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu dibatalkan. Itu disebut dengan "jual beli pelunasan".