2.1
Pengertian dan Azas Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya, terdapat dua
instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen
di Indonesia yakni Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari
segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan
nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga
mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang
layak dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan
bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang
diderita atas transaksi suatu barang dan jasa.
Pembangunan dan perkembangan
perekonomian serta pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi telah membawa
pengaruh kepada setiap aspek kehidupan manusia, khususnya di bidang
perindustian dan perdagangan yang menghasilkan barang jasa dalam pemenuhan kebutuhan
hidup. Kondisi tersebut membawa keuntungan bagi pelaku usaha khususnya konsumen
karena semakin terbuka peluang untuk mendapatkan barang atau jasa dengan harga
yang kompetitif. Namun di sisi lain ternyata juga menimbulkan pengaruh negative
karena mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang
dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas
bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui
kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan
konsumen.
Dengan
adanya UU Perlindungan Konsumen ini sudah cukup representatif apabila telah
dipahami oleh semua pihak, karena di dalamnya juga memuat jaminan adanya
kepastian hukum bagi konsumen, meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen, meningkatkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan
martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian
barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Kemudian di dalam UU
Perlindungan Konsumen pun, diatur tentang pelarangan bagi pelaku usaha yang
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label.
Semakin terbukanya pasar sebagai
akibat dari proses mekanisme pasar yang berkembang adalah hal yang tak dapat
dielakkan. Seringkali dalam transaksi ekonomi yang terjadi terdapat
permasalahan-permasalahan yang menyangkut persoalan sengketa dan ketidakpuasan
konsumen akibat produk yang di konsumsinya tidak memenuhi kualitas standar
bahkan ada yang membahayakan. Karenanya, adanya jaminan peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang
dan jasa yang diperolehnya di pasar menjadi urgen.
Masih segar di ingatan, hebohnya
kasus formalin pada makanan, ditariknya produk pengusir nyamuk HIT karena
dikhawatirkan mengandung bahan yang berbahaya bagi keamanan dan keselamatan
konsumen. Juga kasus minuman isotonik yang mengandung zat pengawet berbahaya
yang disinyalir oleh Lembaga Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (KOMBET)
yang di supervisi oleh LP3ES Jakarta di tahun-tahun lalu ketika meneliti
sejumlah produk minuman isotonik, hasilnya menginformasikan bahwa sejumlah
minuman isotonik mengandung zat pengawet berbahaya yakni natrium benzoat dan
kalium sorbet yang bisa menyebabkan penyakit yang dalam ilmu kedokteran disebut
Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu penyakit nan mematikan yang dapat
menyerang seluruh tubuh atau sistem internal manusia ketika antibodi yang
seharusnya melindungi tubuh manusia malah menggerogoti manusia itu sendiri.
Sekarang heboh jamu berbahaya, kosmetik berbahaya, makanan-minuman mengandung
susu produk RRC yang berbahaya, beras mengandung bahan pengawet berbahaya dan
seterusnya. Apa yang salah, sehingga kejadian seperti selalu berulang, ke manakah
peran pengawasan dari instansi-instansi yang berwenang mengeluarkan izin
produksi, izin berlaku dan beredarnya suatu produk? Sebuah tanda tanya besar.
Jelas konsumen lagi-lagi menjadi korban.
Berdasarkan pasal 2 UU No 8 Tahun 1999 disebutkan
bahwa azas Perlindungan
Konsumen adalah:
1. Asas
Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan,
2. Asas
Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
3. Asas
Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
4. Asas
Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas
Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Faktor utama yang menjadi kelemahan
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini
terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu,
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum
yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pendidikan dan pembinaan
konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan
kesadaran pelaku usaha yang pada prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini
sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
2.2 Hak dan
kewajiban konsumen dan pelaku usaha
Hak-hak konsumen telah diatur secara
jelas dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, Namun, memang pada realitanya, terkadang
konsumen seringkali berada pada posisi yang kurang menguntungkan dan daya
tawarnya lemah. Ini karena mereka belum memahami hak-hak mereka dan terkadang
sudah menganggap itu persoalan biasa saja. Untuk itu mesti di bangun gerakan
secara massif antar elemen masyarakat yang care terhadap advokasi kepentingan
konsumen sehingga hak-hak konsumen dapat diperjuangkan.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen Hak-hak Konsumen
adalah :
1.
Hak atas
kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Hak atas
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau
jasa
4.
Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.
Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
6.
Hak untuk
mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.
Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.
Hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.
Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Untuk itu,
konsumen pun perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan
dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya. Sosialisasi perlindungan
konsumen mesti di lakukan terutama untuk strata sosial menengah ke bawah,
dengan asumsi bahwa untuk konsumen dari strata menengah ke bawah inilah yang
lebih rentan terhadap masalah-masalah yang memerlukan perlindungan konsumen
akibat ketidakpahaman mereka. Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk
meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism).
Untuk peningkatan kesadaran dan kewaspadaan konsumen, konsumen juga memiliki
kewajiban untuk:
1.
Membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Piranti hukum yang melindungi
konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi
justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim perusahaan yang
tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan atau jasa
yang berkualitas. Pelaksanaan Undang-undang Perlindungan konsumen tetap
memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini
dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Oleh karena itu, dalam menjalankan
usahanya pelaku usaha juga mempunyai beberapa hak dan kewajiban seperti
berikut:
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan
b.
nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
c.
hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
d.
hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
e.
hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
f. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundangundangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f.
memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
2.3 Peran
Lembaga Perlindungan Konsumen dan Lembaga Pengawasan
Dalam hal ini, peran lembaga yang
bergerak di bidang perlindungan konsumen menjadi penting, peran-peran ini
diakui oleh pemerintah. Lembaga perlindungan konsumen yang secara swadaya
didirikan masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan
perlindungan konsumen. Lembaga perlindungan konsumen berperan untuk menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian
Konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa, memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya,
serta bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya,
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen,
melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat
terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
Sedangkan Lembaga Pengawasan dalam peranannya dapat
dinilai sebagai yang bertanggungjawab
terhadap pengawasan peredaran barang-barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat yaitu yang ada pada badan BPOM dan departemen terkait yang
mengeluarkan izin produksi, perdagangan dan peredaran
suatu produk. Mestinya pihak-pihak ini teliti sebelum mengeluarkan
izin terhadap suatu produk, jangan sampai di ‘kibuli’ pengusaha, yang akhirnya
rakyat dirugikan oleh hadirnya produk yang membahayakan. Padahal
seperti kasus formalin, HIT dan juga minuman isotonik
misalnya, ini kan kasus yang sebenarnya sudah lama diketahui, namun ketika media ramai-ramai mengangkatnya, barulah mereka bergerak.
Untuk konteks daerah, BPOM dan dinas-dinas terkait juga
selalu reaktif dalam menanggapi persoalan. Seharusnya
mereka lebih proaktif dan antisipatif, bukan menunggu telah muncul kasus ke
permukaan akibat keluhan konsumen baru mereka bertindak.
Kemudian, problem pembinaan terhadap pelaku usaha juga
mesti diperhatikan agar tumbuh kesadaran mereka untuk tidak memproduksi produk-produk yang tidak berkualitas dan menjualnya kepada
konsumen. Lebih lanjut, penindakan secara hukum mesti
tegas agar tidak menjadi preseden buruk dan kejadiannya berulang.
No comments:
Post a Comment